Selasa, 28 April 2015


Dahulu, saat teknologi belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas, setiap penyakit yang diderita oleh manusia seringkali dikait-kaitkan dengan hal-hal yang berbau spiritual dan gaib, seperti contohnya penyakit tersebut dikaitkan dengan gangguan dari makhluk/roh halus atau “dikirim” dari orang lain. Oleh karena itu, saat itu masyarakat yang sakit lebih memilih berobat ke dukun atau orang pintar yang dianggap mampu berkomunikasi langsung dengan makhluk halus daripada berobat ke tabib yang tentunya lebih mengerti tentang jenis penyakit berdasarkan ilmu pengobatan/medis.
Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, diagnosa suatu penyakit dapat dilakukan dengan metode yang lebih canggih, manusia pun juga dapat melakukan pemberian obat-obatan sesuai dengan penyakit yang diderita. Penyebab penyakit manusia juga dapat dideteksi dengan baik. Tidak semua penyakit diakibatkan oleh virus dan bakteri, namun juga dapat bersumber pada kejiwaan manusia.
Sejak awal abad-19 dapat dikatakan bahwa para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi psikis atau kejiwaaan manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (somapsikotis) dan sebaliknya, gangguan mental juga dapat menyebabkan penyakit fisik (psikosomatik). Dan diantara faktor-faktor mental yang diidentifikasikan sebagai faktor yang berpotensi dapat menimbulkan gejala-gejala dari gangguan tersebut adalah keyakinan agam. Hal ini, antara lain disebabkan karena sebagian besar ahli kedokteran melihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyembuhan secara medis, namun, penderita penyakit mental dapat juga disembuhkan dengan menggunakan pendekatan agama.
Psikologi agama adalah salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan serta kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem tentang hal tersebut masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai suatu bagian dari kehidupan pribadi manusia yang sangat erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya, bapak psikoanalisa Sigmund Freud, yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada perilaku manusia sebagai suatu simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksikan dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan.
Lain halnya dengan salah satu penganut behaviorisme, Skinner, melihat agama sebagai isme sosial yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya, kegiatan-kegiatan keagamaan menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan bagi masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan dengan melalui cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.
Perilaku keagamaan menurut pandangan behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku religius karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah tersebut.
Gangguan mental dapat didefinisikan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku.
Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh A. Scott, meliputi beberapa hal :
1.  Salah dalam penyesuaian/adaptasi sosial. Manusia yang mengalami gangguan mental, perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia berada.
2.      Ketidakbahagiaan secara subyektif.
3.      Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
4.      Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris di rumah sakit, namun ada sebagian yang tidak dapat mendapatkan pengobatan tersebut.
Mahmud Abd Al-Qadir, seorang ulama ahli biokimia, memberikan bukti adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan mental. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikkan oleh manusia. Dengan adanya sebuah gerakan yang bertajuk Christian Science, kenyataan itu diperkuat juga oleh pengakuan ilmiah. Dalam gerakan ini, dilakukan suatu pengobatan pasien melalui kerja sama antar dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Dalam gerakan tersebut sangat nampak nilai serta manfaat dari ilmu agama terhadap kesehatan mental. Sejak abad ketujuh hijriyah, Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi (691-751) pernah mengemukakan hal tersebut. Menurut beliau, dokter yang tidak dapat memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kondisi kejiwaannya serta tidak dapat memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan diri dengan Allah dan mengingat akan hari kiamat, maka dokter tersebut bukanlah dokter dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah merupakan seorang calon dokter yang picik.
Barangkali hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan mental, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Esa. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberikan sikap optimis pada diri seseorang sehingga akan muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, kesuksesan, merasa dicintai, atau bahkan rasa aman. Dengan kata lain, kondisi tersebut menjadikan manusia pada kondisi kodratnya, sesuai dengan fitrahnya, yaitu sehat jasmani dan rohani.
Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah dalam kesehatan mental dengan baik adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho dari Tuhan, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.

Daftar pustaka :
Hawari, Dadang. 1995. Al-Quran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Jasa.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Casmini dkk. 2006. Jurnal Kesehatan Mental. Jakarta: UIN SUKA

Child abuse secara harfiah dapat diartikan sebagai perlakuan yang salah terhadap anak. Child abuse didefinisikan sebagai perlakuan salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual (Synder, 1983). Child abuse juga dapat didefinisikan sebagai tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi (David Gill, 1973). Menurut U.S Department of Health, Education & Wolfare, definisi dari child abuse adalah kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh pria yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan & kesejahteraan anak terancam.
Child abuse memiliki 4 bentuk, yaitu :
1.      Physical abuse
Dapat diartikan sebagai penganiayaan fisik. Physical abuse memiliki beberapa tingkatan, mulai dari non-accidental “injury” mulai dari ringan sampai pada trauma neurologik yang berat hingga kematian. Contohnya seperti cedera fisik akibat hukuman fisik yang di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.
2.      Emotional abuse
Perlakuan yang ditandai dengan kecaman atau kata-kata yang merendahkan anak, mengisolasi anak, hingga tidak mengakui sebagai anak atau menolak dan mengabaikan anak. Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti dengan bentuk penganiayaan lain. Hal tersebut akan membuat anak merasa dirinya tidak dicintai, dan tidak berharga. Hal tersebub akan berakibat pada kerusakan mental, emosional, hingga sosial anak.
3.      Neglect (penelantaran)
Tindakan orangtua yang dapat menyebabkan efek merusak kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya. Kelalaian dapat berupa pemeliharaan dan pengawasan yang kurang memadai, mengabaikan pendidikan anak, lalai dalam merawat serta memberikan fasilitas anak dengan baik.
4.      Sexual abuse
Penganiayaan seksual pada anak yaitu paksaan pada anak untuk berperilaku/bertindak dalam kegiatan seksual yang nyata, seperti aktivitas seksual (oral genital, genital,anal) termasuk incest, mengambil foto pornografi anak dan aktivitas seksual lainnya.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan anak mengalami kekerasan baik itu secara fisik maupun mental, diantaranya :
1.      Stress pada anak yang dapat diakibatkan oleh perbedaan fisik atau kelainan fisik, perbedaan mental atau cacat/kelainan mental, temperamen dan tingkah laku yang berbeda, serta status dalam keluarga (anak angkat).
2.      Stress pada keluarga yang dilatarbelakangi oleh perceraian, anak yang tidak diharapkan, tingkat ekonomi dan pengangguran, serta mobilitas, isolasi, dan perumahan yang tidak memadai.
3.      Stress pada orangtua yang dapat disebabkan oleh perlakuan masa kecil yang salah dan harapan dari orangtua tersebut yang tidak terpenuhi.

Daftar pustaka :
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Shaffer, D. R. 1995. Developmental Psychology Childhood and Adolescence (5th ed.). Pacific Groove: Brooks/Cole Publishing Company
Paramastri, Ira. 2001. Empowering Community To Contribute On Primary Preventionx Of Child Sexual Abuse (Csa) Towards Children Well-Being. Jurnal Psikologi. Yogyakarta: UGM