Dahulu, saat teknologi
belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas, setiap penyakit yang diderita
oleh manusia seringkali dikait-kaitkan dengan hal-hal yang berbau spiritual dan
gaib, seperti contohnya penyakit tersebut dikaitkan dengan gangguan dari makhluk/roh
halus atau “dikirim” dari orang lain. Oleh karena itu, saat itu masyarakat yang
sakit lebih memilih berobat ke dukun atau orang pintar yang dianggap mampu berkomunikasi
langsung dengan makhluk halus daripada berobat ke tabib yang tentunya lebih mengerti
tentang jenis penyakit berdasarkan ilmu pengobatan/medis.
Namun, seiring dengan berkembangnya
teknologi dan ilmu pengetahuan, diagnosa suatu penyakit dapat dilakukan dengan
metode yang lebih canggih, manusia pun juga dapat melakukan pemberian
obat-obatan sesuai dengan penyakit yang diderita. Penyebab penyakit manusia
juga dapat dideteksi dengan baik. Tidak semua penyakit diakibatkan oleh virus
dan bakteri, namun juga dapat bersumber pada kejiwaan manusia.
Sejak awal abad-19
dapat dikatakan bahwa para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan
antara penyakit dengan kondisi psikis atau kejiwaaan manusia. Hubungan timbal
balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan
oleh gangguan mental (somapsikotis) dan sebaliknya, gangguan mental juga dapat
menyebabkan penyakit fisik (psikosomatik). Dan diantara faktor-faktor mental
yang diidentifikasikan sebagai faktor yang berpotensi dapat menimbulkan
gejala-gejala dari gangguan tersebut adalah keyakinan agam. Hal ini, antara
lain disebabkan karena sebagian besar ahli kedokteran melihat bahwa penyakit
mental (mental illness) sama sekali
tidak ada hubungannya dengan penyembuhan secara medis, namun, penderita
penyakit mental dapat juga disembuhkan dengan menggunakan pendekatan agama.
Psikologi agama adalah
salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran
agama dalam kehidupan serta kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem
tentang hal tersebut masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai suatu
bagian dari kehidupan pribadi manusia yang sangat erat kaitannya dengan
gejala-gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya, bapak psikoanalisa Sigmund
Freud, yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal
itu. Agama menurut Freud tampak pada perilaku manusia sebagai suatu simbolisasi
dari kebencian terhadap ayah yang direfleksikan dalam bentuk rasa takut kepada
Tuhan.
Lain halnya dengan
salah satu penganut behaviorisme, Skinner, melihat agama sebagai isme sosial
yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya, kegiatan-kegiatan keagamaan
menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.
Lembaga-lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan
mempertahankan perilaku atau kebiasaan bagi masyarakat. Manusia menanggapi
tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan dengan melalui
cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.
Perilaku keagamaan
menurut pandangan behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku religius karena
didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah (pahala). Manusia hanyalah sebuah
robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah
tersebut.
Gangguan mental dapat didefinisikan
sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran,
perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai
gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa
gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan
berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku.
Adapun gangguan mental
yang dijelaskan oleh A. Scott, meliputi beberapa hal :
1. Salah
dalam penyesuaian/adaptasi sosial. Manusia yang mengalami gangguan mental, perilakunya
bertentangan dengan kelompok dimana dia berada.
2. Ketidakbahagiaan
secara subyektif.
3. Kegagalan
beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
4. Sebagian
penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris di rumah sakit, namun
ada sebagian yang tidak dapat mendapatkan pengobatan tersebut.
Mahmud Abd Al-Qadir, seorang ulama
ahli biokimia, memberikan bukti adanya hubungan antara keyakinan agama dengan
kesehatan mental. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak
dipraktikkan oleh manusia. Dengan adanya sebuah gerakan yang bertajuk Christian Science, kenyataan itu diperkuat
juga oleh pengakuan ilmiah. Dalam gerakan ini, dilakukan suatu pengobatan
pasien melalui kerja sama antar dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta).
Dalam gerakan tersebut sangat nampak nilai serta manfaat dari ilmu agama
terhadap kesehatan mental. Sejak abad ketujuh hijriyah, Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi
(691-751) pernah mengemukakan hal tersebut. Menurut beliau, dokter yang tidak
dapat memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kondisi kejiwaannya serta tidak
dapat memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh,
menghubungkan diri dengan Allah dan mengingat akan hari kiamat, maka dokter
tersebut bukanlah dokter dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah
merupakan seorang calon dokter yang picik.
Barangkali hubungan antara agama
sebagai keyakinan dan kesehatan mental, terletak pada sikap penyerahan diri
seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Esa. Sikap pasrah yang seruapa itu
diduga akan memberikan sikap optimis pada diri seseorang sehingga akan muncul
perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, kesuksesan, merasa
dicintai, atau bahkan rasa aman. Dengan kata lain, kondisi tersebut menjadikan
manusia pada kondisi kodratnya, sesuai dengan fitrahnya, yaitu sehat jasmani
dan rohani.
Solusi terbaik untuk
dapat mengatasi masalah-masalah dalam kesehatan mental dengan baik adalah
dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Kesehatan
mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam
penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang
terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho dari
Tuhan, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan
spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Daftar pustaka :
Hawari, Dadang. 1995. Al-Quran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Jasa.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
Casmini dkk. 2006. Jurnal Kesehatan Mental. Jakarta: UIN
SUKA